Dari Iri Jadi Inspirasi

Selamat sore, teman-teman!

Belakangan ini, saya punya hobi baru.

Hobi ini saya lakoni segera setelah mata saya terbuka di pagi hari.

Bukannya "bangun tidur ku terus mandi" dan "tidak lupa menggosok gigi", saya justru dengan sengaja berlama-lama di kasur.

Ngapain, sih?

Ini, lo, akhir-akhir ini saya doyan banget baca-baca berita yang muncul di halaman pertama browser smartphone saya.

Kalau teman-teman juga pengguna Chrome di Android, teman-teman bisa mengaktifkan fitur ini lewat Setting.

Sebetulnya, saya bukan tipe orang yang gemar membaca berita. ðŸ˜‹

Bahkan, sejak COVID-19 merebak, dan pemberitaannya di TV semakin gencar digiatkan beberapa bulan lalu, saya makin enggan mengakrabkan diri dengannya.

Tetapi, berkat fitur Chrome yang saya temui baru-baru ini, saya jadi lebih sering terekspos ke hal yang sebelumnya kurang saya minati itu.

Mungkin ini dipicu faktor kenyamanan, sebab saya nggak perlu repot-repot mengubek-ubek Google demi menemukan berita yang membahas kejadian-kejadian terkini, berkat canggihnya algoritma Google.

Jadi, umumnya berita yang disuguhkan adalah berita-berita yang menurut Google akan cocok dengan selera saya.

Pilihannya sendiri beragam, mulai dari gosip seputar selebritas tanah air hingga keluhan konsumen terkait produk tertentu.

Sejujurnya, saya nggak punya patokan khusus soal berita-berita apa yang pas dibaca di pagi hari, terlebih ketika mata saya masih super duper berat karena kantuk. ðŸ˜µ

Terkadang saya tergoda untuk ngepoin aktris A, tapi di lain hari saya justru haus akan informasi teranyar mengenai perkembangan Anti-Asian Hate Movement di negeri Paman Sam sana.

Seperti pagi ini, dari sederet opsi yang Google rekomendasikan, pilihan saya jatuh pada sebuah artikel yang diterbitkan di Terminal Mojok.

Topik dari artikel tersebut mengulas tentang scandalous affair yang melibatkan salah satu marketplace terpopuler di Indonesia (tanpa perlu saya sebutkan apa/siapa, saya yakin teman-teman pasti bisa menebaknya).

Baru beberapa detik saya menyelami tulisan tersebut, ndilalah kantuk saya tiba-tiba menguap begitu saja.

Bukan, bukan karena sudut pandang pembahasannya yang unik atau gaya bahasanya yang bombastis.

Kantuk saya serta-merta menghilang tatkala saya membaca nama penulisnya.

Ani (disclaimer: nama disamarkan).

Entah mengapa nama lengkap dari sang author terdengar sangat akrab di telinga saya.

Rasa-rasanya seperti orang yang sudah saya kenal sebelumnya.

Tetapi siapa?

Dan di mana kami pernah berkenalan?

Seketika insting ninja saya bergejolak.

Secepat kilat saya buka tab baru dan mengetikkan nama tersebut di search bar.

Beberapa sumber teratas yang muncul di hasil pencarian Google makin membuat saya syok.

Bagaimana tidak, rupa-rupanya itu adalah nama dari salah satu teman sekelas saya di kelas 12 dulu!

Jeng, jeng, jeng!

Sungguh, saya melongo dibuatnya.

Ani, oh, Ani! Jadi sekarang kau berprofesi sebagai penulis, begitu teriak saya di dalam hati.

Agenda pagi saya pun beralih, dari yang semula dikhususkan untuk menyerap informasi baru menjadi sesi riset kecil-kecilan, dengan teman sekelas SMA saya sebagai subjeknya.

Dari sana, saya jadi tahu bahwa selain giat menulis untuk platform tersebut, kini Ani juga bekerja sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta di kota kami.

Astaga, ini adalah fakta mencengangkan lainnya buat saya!

Oke, kalau boleh jujur, I didn't see this coming at all.

Bisa jadi, keterkejutan ini sebenarnya muncul akibat kekeliruan saya dalam menilai Ani.

Siapa sangka setelah lulus SMA Ani memilih untuk meneruskan studinya di bidang sastra Indonesia?

Siapa sangka pula jika, ternyata, Ani sejak dulu punya minat mendalam soal sastra?

Bahkan, hingga kini, terhitung sudah dua buku yang Ani terbitkan. Yang satu adalah kumpulan cerpen, sedangkan yang lainnya merupakan novel yang digarapnya sendiri.

Saya blas tahu-menahu mengenai fakta-fakta di atas lantaran kami bukan teman dekat di bangku sekolah dulu.

Setelah beberapa saat, saya nggak sanggup memikirkan apa-apa kecuali satu pertanyaan dilematis ini:

What have I been doing with my life all this time?

Seketika, saya jadi mengasihani diri sendiri, sekaligus iri pada pencapaian-pencapaian Ani.

Saya selalu suka menulis.

Karenanya, saya bergabung dengan klub majalah SMA kami.

Selama dua tahun, saya dipercaya menjadi "jurnalis" yang membawakan kolom opini, di mana setiap semesternya saya mewawancarai guru-guru di sekolah kami dan membedah apa-apa yang mereka utarakan.

Dan, karena itu pula lah saya memutuskan untuk menjadi freelance writer selepas diwisuda dari perguruan tinggi.

Niat saya, mau bagaimanapun juga, saya bertekad untuk hidup dari tulisan-tulisan saya.

Tetapi, setelah menilik kembali apa saja yang sudah saya perbuat selama dua tahun belakangan sejak saya melakoni keputusan ini, saya jadi minder.

What have I achieved so far?

Nothing.

Yang bisa saya ingat dengan pasti adalah sosok saya yang acapkali begadang sampai pagi buta demi memenuhi deadline.

Selain sibuk banting tulang mencari uang, rasa-rasanya saya nyaris tidak pernah mendedikasikan sedikit waktu yang saya punya demi mewujudkan cita-cita saya.

Sebetulnya, ini bukan pekerjaan yang buruk juga, mengingat saya masih bisa melakukan hal yang saya sukai untuk menafkahi diri saya sendiri.

Tetapi, tulisan-tulisan itu saya buat atas perintah orang lain, bukan menuruti keinginan saya sendiri.

Saya jadi bertanya-tanya, how can Ani do that?

Mengapa Ani bisa, sedangkan saya seperti mandek di tempat bahkan setelah waktu berjalan sangat lama?

Secara alamiah, iri pun merayapi hati saya.

Saya juga ingin menerbitkan buku saya sendiri.

Saya teramat ingin melihat karya saya nangkring di etalase toko buku, dan dengan bangga berkata, "Hey, look. I wrote this!"

Namun, lebih dari apapun, saya ingin mewujudkan cita-cita dari diri saya di masa lampau.

Bukannya bermaksud sok dramatis, tetapi saya bisa menduga-duga bahwa dia mungkin kecewa menyaksikan bagaimana dirinya bertumbuh menjadi sosok seperti sekarang.

Ah, tampaknya yang saya lakukan selama ini hanya membuang-buang waktu.

Tetapi, saya benci berkubang dalam perasaan semacam itu.

Cuma membikin saya depresi dan berkecil hati.

Jadi, saya buang jauh-jauh iri yang muncul setelah mengetahui kabar terbaru dari Ani, dan saya pun bangkit dari kasur dengan semangat baru.

Ada yang bilang motivasi eksternal tidak bertahan lama.

Motivasi yang datangnya dari dalam sanggup menggerakkan diri lebih lama daripada faktor-faktor yang bersumber dari luar.

Namun, saya coba menghargai langkah kecil untuk membuat perubahan ini.

Saya nggak yakin Ani bakal secara ajaib terdampar di postingan ini, tapi saya ingin berterima kasih dengan setulus-tulusnya.

Berkat Ani, saya memperoleh suntikan motivasi untuk bangkit.

Berkat Ani pula, saya memberanikan diri untuk kembali menekuni hal yang sudah lama saya kesampingkan.

Ya, hal itu adalah menulis untuk diri sendiri.

Saya betul-betul nggak menduga, bahwa kebiasaan baru saya di pagi hari akan berujung pada dimulainya kembali perjalanan saya sebagai blogger.

Kalau mesti merangkum perasaan saya dalam satu kata, it's 'amazing'. ðŸ˜Š


"Dari Iri Jadi Inspirasi" - Sidoarjo, 16 April 2021

Ristra Russilahiba

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Dari Iri Jadi Inspirasi"

  1. Kalau saya entah gimana pengaturannya, semua browser selalu kasih notif berita terbaru.
    Belom tau cara matiinnya,

    Tapi enaknya, saya jadi tau cepat berita yang beredar.
    Kayak ada gempa, ada teror bom, sampai isu dan gosip artis hahaha.

    Btw semangat ngeblognya yaaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin setting-nya sudah otomatis ya di HP Kak Rey, kalau saya malah baru tahu akhir-akhir ini, hehehe. Betul banget, Kak! Saya juga suka sama fitur ini, jadi terbantu banget untuk update berita-berita lokal. Terima kasih banyak, Kak Rey!

      Delete