Selamat sore, teman-teman!
Memasuki adulthood, apa pekerjaan pertama yang kamu peroleh?
Kalau saya, berkat koneksi dengan seorang teman, saya berkesempatan menjadi guru les privat.
Ya, itu adalah the very first job I ever had ketika saya menginjak dewasa.
Lebih tepatnya, pada waktu itu, saya menjajal menjadi guru les privat bahasa Inggris untuk tingkat SMP.
Sebetulnya, saya sama sekali nggak ada niatan untuk mengajar.
Walaupun beberapa teman bilang saya punya bakat untuk itu (menurut testimoni mereka, cara saya membawakan presentasi di kelas dinilai cukup apik 😋), saya nggak cukup PD untuk terjun ke bidang tersebut.
Bagi saya, mengajar itu merupakan sebuah tanggung jawab yang besar.
Di benak saya terselip beberapa kekhawatiran, salah satunya yang paling membuat saya maju-mundur mengambil penawaran itu adalah ketidakcakapan saya dalam membimbing calon siswa.
Begini, kalau saya cuma mau dapat duitnya saja, saya bersedia, kok, menjadi guru privat bagi anak tersebut.
Tetapi, saya tahu betul bahwa it takes more than just that untuk menjadi guru yang baik. 😔
Saya mau transfer ilmu yang saya lakukan nantinya bisa diterima dengan sebaik mungkin oleh sang anak.
Bagaimanapun juga, calon wali murid memiliki ekspektasi terhadap saya, toh?
Saya dibayar dengan harapan saya bisa membantu meningkatkan kemampuan belajar siswa.
Nggak bisa dipungkiri, orang tua tentunya punya harapan seperti itu.
Jadi, saya nggak boleh main-main dalam menjalankan tugas ini.
Mulanya, saya sempat ragu.
Saya habiskan beberapa hari merenungkan penawaran tersebut.
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk set the deal.
Apa yang mengubah pikiran saya?
Seingat saya, waktu itu saya masih duduk di semester 7.
Alhasil, saya punya banyak waktu luang mengingat nggak banyak mata kuliah yang saya ambil pada saat itu.
Hemat saya, daripada menganggur, mengapa nggak melakukan sesuatu yang bukan cuma menguntungkan dari segi finansial tapi pengalaman juga?
Saya pun mengiyakan tawaran dari teman saya untuk menjadi guru les privat bagi anak kenalannya itu.
Di luar dugaan, rupanya saya dan Dafa (disclaimer: nama disamarkan), calon murid saya, tinggal berdekatan. Yah, kurang lebih rumah kami berjarak sekitar dua kilometer saja.
Padahal, saya sudah sempat memperhitungkan untuk memasukkan biaya transportasi ke dalam tarif les per pertemuan. 😝 Namun, hal tersebut pun saya urungkan.
Kesan pertama saya terhadap Dafa cukup baik.
Yah, walaupun dia cukup cuek ketika belajar (baca: hanya menanggapi sekenanya ketika ditanya), saya bisa maklum. 😆
Kala itu, kami sepakat untuk memulai pertemuan kami setiap sore pukul empat.
Seingat saya, Dafa pulang sekolah pada pukul tiga.
Dia cuma punya waktu beberapa menit saja untuk beristirahat sebelum melanjutkan studinya.
Jadi, saya bisa memahami betapa lelah dan penatnya Dafa karena mesti berjibaku dengan pelajaran lagi.
Terlebih, berdasarkan pengakuan Mama Dafa, bocah tersebut kurang suka belajar bahasa Inggris.
Wah, ini menjadi tantangan berat buat saya untuk mengubah cara pandangnya tersebut.
Demi menuntaskan challenge tersebut, saya sampai harus melahap banyak buku tentang metode pengajaran, mulai dari yang paling klasik (Teaching by Principles-nya H. Douglas Brown) hingga yang lebih practical seperti ESL Classroom Activities for Teens and Adults karya Shelley Ann Vernon.
Apakah membaca buku-buku seperti ini membantu saya menjadi guru les privat yang baik?
Sejujurnya, sulit untuk menentukan, guru les privat yang "baik" itu yang bagaimana, sih?
Dari sudut pandang orang tua, tentunya mereka adalah guru yang mampu menolong anak-anaknya untuk menjadi lebih berprestasi di kelas.
Tetapi, jika mengincar nilai bagus semata, itu agak disayangkan.
Sebab, inti dari belajar adalah menyerap pengetahuan yang dapat dipergunakan di sepanjang hidup.
Inilah keyakinan saya.
Dan, berbekal dari keyakinan itu, saya menyusun materi-materi pembelajaran yang telah saya sesuaikan dengan gaya belajar dan kebutuhan Dafa.
Dari hasil pengamatan saya di pertemuan pertama kami, Dafa mudah sekali lupa dengan informasi yang baru saja didapatnya.
Pun, dia lemah dalam struktur grammar.
Sementara itu, kemahiran berbahasanya di bidang reading saya kira sudah cukup matang.
Jadi, memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya (for your information, saya dipercaya untuk mengajar Dafa untuk mempersiapkannya mengikuti ujian nasional), saya memfokuskan sesi belajar kami di materi seputar grammar.
Terlebih, untuk siswa kelas 3 SMP di masa itu, ada lumayan banyak materi writing yang disertakan dalam UN.
Nah, karena grammar merupakan salah satu aspek penting dalam menulis, saya 'menghajar' Dafa habis-habisan dengan materi-materi grammar, mulai dari belajar hal yang paling mendasar seperti mengenali parts of speech (apa itu noun, adjectives, adverbs, dsb) hingga memahami ragam tenses.
Juga, seperti yang saya singgung tadi, lantaran daya ingat Dafa kurang bagus, saya mengajar dengan metode pengulangan (repetition method).
Melalui pengulangan, suatu keterampilan dipraktikkan dan dilatih dari waktu ke waktu dan secara bertahap menjadi lebih mudah.
Contohnya, guna menguasai present continuous tense, saya sengaja membuat 3-4 model soal yang berbeda dengan masing-masing model terdiri dari 15-20 questions.
Namun, walau Dafa sudah menghapal struktur kalimat dalam tense ini dengan baik di hari itu, saya tetap akan memberinya pertanyaan-pertanyaan serupa di pertemuan berikutnya.
Ini betul-betul meningkatkan memory Dafa.
Hasilnya sangat kentara ketika saya mengadakan evaluasi mingguan. Performa Dafa pun membaik, khususnya dalam grammar.
Duh, sungguh berbunga-bunga hati saya begitu menunjukkan progress-nya kepada Mama Dafa. 😆
Rupanya, nggak sia-sia juga saya mengerahkan usaha untuk melakukan research, terutama dalam memilih metode pengajaran yang pas dan menyusun worksheet yang personally-tailored for Dafa setiap harinya.
Ada kalanya kami terhambat gara-gara Dafa sempat mogok belajar.
Mungkin dia bosan lantaran mesti mengerjakan berlembar-lembar soal di setiap pertemuannya.
Itu menjadi PR bagi saya jika di lain hari saya berkesempatan untuk menjadi guru les lagi. 😅
Saya harus menemukan trik untuk menarik minat siswa supaya nggak gampang jenuh dalam mengikuti pelajaran.
Oh ya, lalu bagaimana akhirnya?
Apa Dafa berhasil melewati masa-masa ujiannya dengan baik?
Of course!
Karena Dafa sudah belajar dengan sangat giat, dia mendapatkan nilai 94 untuk ujian bahasa Inggrisnya.
Marvelous, wasn't it?
Saya yang mendengar kabarnya lewat telepon dari Mama Dafa turut bangga dengan pencapaian ini.
Rasanya seolah-olah perjuangan keras kami terbayar sudah dengan hasil yang memuaskan. 😍
Sebenarnya, saya sempat sangsi.
Bukan kepada Dafa, tetapi kepada diri saya sendiri.
Bagaimana jika saya gagal memenuhi ekspektasi dari orang tua siswa?
Duh, bisa-bisa saya kehilangan muka!
Tetapi, mendengar kabar baik tersebut benar-benar melelehkan keragu-raguan di hati saya.
Saya nggak bermaksud sombong, but it does seem that I have a knack for teaching. 😝
Yang mulanya saya deg-degan setengah mati saat bertatap muka dengan murid saya untuk pertama kalinya, hingga saya merasa rindu begitu kontrak mengajar saya berakhir.
Terkadang, saya suka bertanya-tanya, bagaimana kabar Dafa sekarang, terlebih sewaktu saya melewati daerah tempat tinggalnya secara nggak sengaja.
Saya sedikit menyesal gara-gara lupa meminta nomor ponselnya. Beruntungnya, saya masih memiliki nomor ponsel Mama Dafa.
Mungkin, suatu waktu nanti, saya akan memberanikan diri untuk bertukar kabar.
Apa Dafa masih tekun belajar bahasa Inggris?
Atau, justru Dafa sudah mahir di luar kepala sampai-sampai nggak memerlukan yang namanya belajar lagi? 😅
Walaupun begitu, saya berharap, mudah-mudahan apa yang telah saya tularkan kepadanya bisa berguna baginya sampai kapanpun nanti.
Sekarang, jika ditanya, apakah saya ingin menjadi guru les privat lagi, saya dilema antara "ya" dan "tidak".
With how things are recently, sulit untuk bersua dengan orang lain tanpa merasa was-was.
Tetapi, saya akan mengatakan "ya" dengan mantap setelah distribusi vaksin dilaksanakan dengan merata nantinya.
Agaknya ketertarikan saya untuk mengajar masih belum luntur.
Ya, interest yang baru saya sadari setelah meyakinkan diri bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba itu agaknya masih belum luntur jua.
Tetapi, sampai saatnya tiba, saya akan memantaskan diri terlebih dahulu guna menjadi guru les privat yang 'baik'. 😁
"Ternyata, Begini Rasanya Menjadi Guru Les Privat" - Sidoarjo, 18 April 2021
Ristra Russilahiba
Wihiii dirimu keren mba, menjadi pembelajar :D
ReplyDeleteWalaupun cuma sebentar (sekitar dua/tiga bulan sepertinya?) tapi seenggaknya sudah pernah ngerasain peran pembelajar, hihihi 😆
DeleteMenjadi guru itu sesuatu yang luar biasa Ristra... Nikmati, jalani dan tekuni.. Saya sendiri dulu semasa belum lulus kuliah juga sempat menjalani menjadi guru privat dan rasanya memang menyenangkan.
ReplyDeleteMungkin juga karena passion Ristra ada di sana, iya nggak sih?
Sebetulnya seru banget, Pak Anton, apalagi kalau sudah klik sama murid. Bisa nyambung gitu pas diskusi santai di luar materi belajar. 😄 Dulu ngajar mapel apa, Pak? 😮
DeleteHmm, mungkin jawabannya "iya"? 😬
Saya dulu ngajar bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia..
DeleteWaaah, keren Pak, bisa ngajar bahasa Indonesia juga!
Delete