Pengalaman Operasi Tumor Payudara dengan BPJS, Benarkah Gratis?

Awal tahun ini, Allah SWT menguji keluarga kami dengan sebuah cobaan, di mana adik saya (20 tahun) divonis menderita tumor payudara, atau yang juga diketahui sebagai fibroadenoma.

Saya nggak mengetahui sama sekali perihal adik saya menderita penyakit tersebut sampai saya menanyakan langsung kenapa ia selama beberapa hari murung terus dan nggak nafsu makan.

Setelah saya desak berkali-kali, akhirnya ia mau mengaku bahwa payudara sebelah kanannya sudah berhari-hari nyeri.

Kaget, sontak saya segera memeriksanya, dan betul saja, ada benjolan seukuran jempol di bagian kanan. Kulit di daerah tersebut juga berwarna sedikit keunguan, seperti memar.

Periksa payudara ke dokter apa? Saat itu sih saya antar adik ke dokter umum di komplek sebelah. Selama menunggu giliran diperiksa, adik saya nggak henti-henti menangis. Saya sebetulnya juga sempat menangis, lantaran heran. Bisa-bisanya dia merahasiakan soal ini dan menahan sakit selama beberapa hari?

Begitu giliran kami tiba, dokter melakukan sejumlah pemeriksaan, seperti ukuran dan lokasi tumor. Beruntungnya, karena benjolan tersebut ada wujudnya (bukan sekadar nyeri yang nggak disertai perubahan bentuk pada payudara), dokter mengatakan bahwa tumor tersebut masih jinak, dan bisa diangkat dengan operasi.

Untuk sementara waktu, dokter memberikan adik saya pereda nyeri (yang sepertinya sih dosisnya lebih tinggi daripada Sanmol dan Ibuprofen, karena bagi adik saya dua-duanya sudah nggak mempan untuk meredakan nyeri).

Sesampainya di rumah, saya cepat-cepat berdiskusi dengan ayah. Jelas banget yang kami diskusikan apa lagi kalau bukan seputar masalah finansial.

Dengan gaji kami yang pas-pasan, mana bisa kami membiayai operasi yang ternyata bisa menghabiskan hingga 15 juta?

Masih dalam kondisi panik, saya menelepon beberapa teman, menanyakan pendapat mereka. Ayah saya juga menghubungi kerabatnya, barangkali ada yang pernah mengalami kejadian serupa.

Nah, salah satu teman saya pun menyarankan supaya kami menggunakan BPJS Kesehatan. Permasalahannya adalah, kami sekeluarga di titik itu belum punya keanggotaan BPJS, sementara situasi sudah amat genting. Pun, jika kami akhirnya terdaftar, apa kartu kami bisa langsung digunakan?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu saya, dan pengakuan para netizen di Twitter bervariasi. Ada yang dalam lima hari sejak pendaftaran langsung menerima jadwal operasi, tetapi ada juga yang harus menunggu berbulan-bulan lamanya.

Karena waktu itu kejadiannya di pertengahan Januari 2023, saya sampai membatin.

"Ya Allah, semoga sebelum Ramadhan tahun ini seenggaknya (adik) bisa operasi."

Saya betul-betul nggak tega melihat adik saya yang stres berat gara-gara sakitnya, yang setiap hari meringkuk di kasur, yang bahkan mau mandi pun takut karena melihat benjolan di payudaranya. Saking stresnya, rambut adik saya sempat rontok parah.

Namun, berhubung kami juga nggak mungkin bisa berutang tanpa penghasilan yang pasti, akhirnya kami sepakat untuk mendaftar keanggotaan BPJS Kesehatan.

Bagaimana Cara Mendaftar BPJS Kesehatan secara Online?

Sebetulnya, dulu sekali, sekitar tahun 2015, saya pernah mencoba berinisiatif untuk mendaftar BPJS langsung di kantornya. Tapi, karena prosesnya yang rumit (saya harus melengkapi berlembar-lembar formulir), saya memutuskan untuk mandek.

Harus saya akui betapa bodohnya saya saat itu. Padahal, siapa sih yang bisa menduga kapan sakit itu datang? Kalau tahu begini, saya seharusnya nggak putus asa waktu itu. Duh, punya asuransi kesehatan itu bener-bener penting deh, pokoknya!

Nah, kabar baiknya, sejak pandemi kini pendaftaran BPJS KEsehatan bisa dilakukan secara online. Cukup men-download aplikasinya di Play Store dan instal. Untuk prosesnya saya sudah nggak terlalu ingat, tapi yang pasti saya hanya perlu mengganti dari BPJS perusahaan ke mandiri.

Maklum, lantaran masih betul-betul awam soal BPJS ini, saya sampai mesti berulang kali menghubungi nomor WhatsApp yang ada untuk tanya ini-itu. Alhamdulillah, customer service melayani dengan baik, mulai dari tentang kapan kartu saya bisa langsung digunakan untuk berobat, sampai apakah pembayaran saya sudah dikonfirmasi atau belum.

Seingat saya, saya hanya perlu menunggu dua minggu hingga status kartu saya berganti ke mandiri, kemudian barulah saya bisa membayar tagihannya sebesar Rp 105.000,00 untuk tiga orang (masing-masing Rp 35.000,00 untuk kelas 3).

Dan, lagi-lagi saya dibuat terharu, saat mengetahui bahwa segera setelah pembayaran dikonfirmasi, saya bisa langsung berobat di fasilitas kesehatan (faskes) 1.

Apa Saja yang Dibawa saat Berobat BPJS di Faskes 1?

Berhubung waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, saya dan adik bergegas pergi ke puskesmas di mana kami terdaftar. Nggak lupa juga kami membawa kartu BPJS yang di-download dari aplikasi dan di-print serta beberapa fotocopy KTP.

Sesampainya di loket, petugas menggunakan dua berkas tersebut untuk mendaftarkan kami di database, dan setelah kartu puskesmas adik saya selesai dibuat, kami dipersilakan masuk untuk mengantri.

Alhamdulillah, hari itu puskesmas cukup sepi, jadi kami nggak perlu menunggu lama-lama. Kami mengutarakan tujuan kami, yaitu meminta rujukan ke rumah sakit untuk operasi. Tapi sebelumnya adik saya tetap harus diperiksa dulu. Rupa-rupanya informasi dari pemeriksaan kedua itu dicantumkan di surat rujukan yang akan diberikan ke rumah sakit.

Begitu pemeriksaan selesai, bagian administrasi memberi kami beberapa pilihan rumah sakit terdekat yang bisa dirujuk. Awalnya saya pikir adik saya bisa dioperasi di rumah sakit besar seperti RSUD Sidoarjo atau RSPAL dr. Ramelan Surabaya. Eh, ternyata prosedurnya nggak seperti itu.

Jadi, dari faskes satu ini, pasien harus dirujuk dulu ke faskes dua. Nah, kalau faskes dua nggak menyanggupi untuk operasi karena alasan tertentu (ketidaktersediaan petugas atau kamar), barulah pasien dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.

Di antara beberapa pilihan yang tersedia, kami memilih RS Delta Surya. Alasannya? Meski jaraknya jauh banget dari rumah, tapi cuma rumah sakit itu yang kami pernah dengar namanya. Jadi, keputusan kami 100% didasarkan pada faktor reputasi, hehe.

Kemudian, surat rujukan kami dicetak, dan petugas di bagian administrasi bilang suratnya berlaku mulai hari itu juga. Nggak mau buang-buang waktu, kami coba cek apakah dokter bedah RS Delta Surya ada jadwal praktik hari itu, dan ternyata ada!

Maka kami langsung pulang dan sarapan, pesan GoCar, lalu meluncur ke tujuan. Kenapa buru-buru? Mau bagaimana lagi, dokter bedah yang bertugas hari itu cuma ada di jam 9 pagi, 1 siang, 7 dan 8 malam. Kami 'kan sudah kelewatan yang pukul 9, jadi mau nggak mau kami harus mengejar jadwal jam 1 itu.

Dan itulah bagaimana kami bertemu dengan dokter yang akan membantu adik saya untuk sembuh, dr. Lesap Heru Farolan.

Bagaimana Cara Mendaftar ke Rumah Sakit jika Menggunakan BPJS?

Sebelum check up pertama, kami harus mendaftar di bagian administrasi dulu (di gedung belakang yang memang dikhususkan untuk pasien BPJS). Selain menunjukkan surat rujukan dari puskesmas, adik saya diminta menyerahkan fotokopi KTP dan print kartu BPJS. Setelah itu, kami dipersilakan menunggu di area tunggu khusus bagian bedah.

Wah, kebetulan kantor dokter bedah RS Delta Surya bersebelahan dengan dokter anak, dan Jumat itu banyak pasien-pasien kecil yang berkunjung. Kayaknya hampir setiap pasien yang keluar pasti menangis, haha. Saya sebetulnya kasihan, tapi, yah namanya juga anak kecil, pasti nggak betah menahan sakit.

Sementara itu, antrian untuk dokter bedah sendiri lumayan sepi. Adik saya dapat nomor urut keenam, dan saat itu sudah empat pasian yang diperiksa. Selain adik saya, ada juga perempuan seumuran lainnya yang menunggu giliran sambil ditemani ibunya.

Adik saya berbisik, jangan-jangan penyakitnya juga sama. Yah, mungkin aja, habisnya saat itu sisa pasien lainnya tergolong sepuh semua.

Beberapa menit kemudian suster memanggil adik saya untuk masuk ke dalam. Beruntungnya pasien boleh ditemani satu orang di dalam, jadi adik saya nggak perlu takut sendirian.

Dokter Farolan membaca surat rujukan sekilas, lalu menyuruh adik saya berbaring di ranjang untuk dilihat ukuran dan letak tumornya. Adik saya sempat bolak-balik menjerit kesakitan. Barangkali karena itu dokter menjadwalkan operasinya supaya dilakukan sesegera mungkin, alias pada Selasa berikutnya.

Saya kira setelah itu adik saya bakal disuruh tes MRI scan, eh, tahu-tahunya dia cuma perlu tes darah plus COVID-19 aja. Kami pun pindah ke laboratorium. Mungkin karena saat itu sudah sore, ya, jadi yang tes selain adik saya hanya beberapa orang aja. (Oh ya, perempuan yang tadi juga tes barengan dengan adik saya).

Adik saya memang bawaannya takut jarum suntik, jadi begitu keluar-keluar dari lab langsung nangis bombay dong, hahahaha. Saya harus ngemong dia dulu lumayan lama sampai sakitnya reda. Setelah itu kami makan siang di kantin rumah sakit (by the way nasi gorengnya enak, tapi kalau kata adik saya yang doyan makan sih porsinya kurang).

Kami duduk-duduk di kantin cukup lama sekalian menunggu hasil tes yang katanya keluar jam 4. Begitu waktunya tiba, kami bergegas kembali ke lab, mengambil hasil tes yang penuh dengan istilah-istilah asing dan banyak angka njelimet, terus pulang deh.

Pengalaman Operasi Fibroadenoma: Hari H

Sejak semalam sebelumnya saya sibuk packing barang-barang yang sekiranya bakal kami perlukan selama menginap di rumah sakit. Karena sepertinya bakal lama juga menginapnya, saya bawa baju ganti untuk tiga hari. Saya juga bawa tisu basah, peralatan mandi (sabun cair, sikat dan pasta gigi), bantal, selimut...

Apa lagi, ya? Saking banyaknya saya nggak ingat lagi, tapi yang pasti nggak sebanyak barang bawaan pas mudik, sih. Oh ya, yang paling penting dan nggak boleh kelupaan adalah hasil tes darah dan COVID-19 Jumat lalu.

Operasinya dijadwalkan mulai jam 1, tapi dokter mewanti-wanti kami untuk datang sebelum pukul 8 karena adik saya masih harus melakukan check up terakhir. Adik saya juga nggak diperbolehkan makan apa-apa satu jam sebelum periksa. Jadi, begitu selesai sholat Subuh, saya suruh dia makan seadanya untuk mengganjal perut.

Kami berangkat sekitar pukul 7 untuk menghindari macet (lagi-lagi menggunakan GoCar). Di sepanjang perjalanan saya nggak henti-hentinya berdoa. Semoga adik saya nggak kena Corona. Semoga hasil tes darahnya normal. Kenapa? Ya kalau ada apa-apa operasinya mesti ditunda, dong, dan saya nggak mau itu terjadi. Itu berarti adik saya harus menanggung sakitnya lebih lama lagi.

Ternyata kami datang lebih awal. Meski begitu rumah sakit sudah ramai, bahkan rasa-rasanya lebih ramai dari terakhir kali kami ke sana. Antrian di bagian administrasi berjubel, dan setelah menunggu giliran dipanggil selama 20 menit lamanya, ternyata kami salah tempat! Alamak!

Untuk pasien yang akan operasi rupanya harus mendaftar di administrasi khusus rawat inap. Di sana saya dan adik saya menandatangani cukup banyak berkas, salah satunya informed consent. Saya deg-degan banget sih tanda tangan dokumen ini, tapi menurut review di internet sejauh ini RS Delta Surya belum ada track record jelek, jadi saya bisa sedikit bernapas lega.

Kami juga ditawari karcis parkir untuk tiga hari (yang tentunya nggak berguna buat kami yang ke mana-mana diantar GoCar, jadi kami serahkan ke Bapak, deh). Semua dokumen beres, dan alhamdulillah masih ada kamar kosong untuk anggota BPJS kelas 3 (di mana ini sangat membantu, ya, karena semisal kami harus naik kelas jelas-jelas kami harus bayar lebih, dong).

Eits, tapi kami belum bisa langsung masuk ke kamar. Adik saya masih harus dites lagi, dan ya ampun, laboratorium hari itu penuh sesak sampai-sampai kami nggak kebagian tempat duduk. Ada salah satu penunggu pasien yang kayaknya bosan menunggu jadi memilih untuk sarapan mie instan!

Otomatis baunya menyebar ke seisi ruangan, dan adik saya yang kelaparan menatap saya memelas.

Setelah menghabiskan nyaris satu jam di situ, nama adik saya dipanggil, dan lagi-lagi dia keluar dengan berlinang air mata. Mungkin gara-gara perutnya kosong juga, adik saya bahkan bilang kalau rasanya seperti mau pingsan. Alhasil kami leyeh-leyeh sebentar di salah satu sofa yang kebetulan kosong saat itu.

Hasil tesnya keluar beberapa saat setelahnya, dan kami diberitahu untuk naik ke lantai dua. Di sana adik saya masuk ke sebuah ruangan untuk cek berat dan tinggi badan sambil menyerahkan hasil tes tadi. Saya kurang ngeh juga sih ketika suster-suster menulis di buku sambil melihat kertas check lab adik saya, tapi saya pikir itu mungkin untuk dokumentasi.

Nah, akhirnya adik saya diantar ke kamar. Adik saya sekamar dengan tiga pasien lainnya kala itu; satu perempuan lansia dan dua perempuan paruh baya. Adik saya yang paling terakhir masuk, dan saya nggak menyangka kalau nantinya adik saya juga bakal jadi yang paling pertama pulang.

Lagi-lagi saya diminta tanda tangan berkas-berkas lainnya. Barulah adik saya diminta berganti gaun operasi sekaligus dipasangi infus (tebak adik saya nangis atau enggak, hehe).

Suster lain dengan seragam yang berbeda muncul, rupa-rupanya beliau bertugas mengurus makanan pasien. Adik saya ditanya-tanyai soal alergi makanan, lalu suster dengan baik hati menjelaskan menu hari itu. Adik saya terang-terangan excited menunggu makan malam, wong dia sedang menahan lapar setengah mati.

Pukul satu masih lama. Bosan menunggu, ditambah lagi adik saya nggak bisa leluasa menggunakan tangan kanannya yang dipasangi infus, akhirnya dia mencoba untuk tidur. Itu pun sesekali dia terbangun gara-gara pasien di sebelah kanan kami yang sering batuk keras, cukup keras untuk membangunkan seisi kamar.

Sementara itu, pasien di sisi kiri, wanita lansia yang katanya menderita GERD atau apa, sesekali mengintip melalui tirai, sepertinya heran melihat adik saya yang berpenampilan aneh (memakai penutup kepala seperti shower cap dan gaun hijau). Tapi saya cuma bisa pura-pura nggak lihat, canggung juga mau mengajak ngobrol duluan.

Mendekati pukul satu, seorang suster menengok adik saya sambil membawa kursi roda. Sambil tertawa-tawa kami pergi ke ruang operasi. Saya nggak ikut masuk sampai ke dalam, selain untuk membantu adik saya berganti pakaian. Salah satu dokter yang masih muda keluar dari dalam dan menjelaskan bahwa operasinya nggak akan lama, jadi kami diminta untuk stand by di luar.

Sejujurnya perasaan saya campur aduk waktu itu. Mau menangis, tapi saya tahu saya nggak boleh begitu. Saya harus tegar karena adik saya pasti lebih takut daripada saya. Kami kemudian berpisah, dan adik saya menghilang di balik tirai putih.

Tidak lama Bapak datang. Saya pamit untuk sholat dan jajan pentol di depan rumah sakit. Maklum, saya juga ikutan puasa menemani adik.

Sambil makan pentol saya mengamati area di sekitar ruang operasi. Ada burung yang entah apa namanya di tengah-tengah taman kecil. Kasihan sekali burung itu, batin saya, sendirian tanpa teman. Bapak bilang itu burung mahal, dan saya cuma berkat "oh" tanpa menyambung lebih lanjut.

Selain saya dan Bapak, ada beberapa penunggu pasien lainnya seperti kami. Dan seiring berjalannya waktu, satu per satu keluarga itu dipanggil untuk menjemput pasien. Saya gugup lantaran nama adik saya belum disebut, padahal jam sudah menunjukkan pukul 5. Kata dokter operasinya nggak lama, kenapa adik saya belum keluar juga?

Banyak pikiran jelek memenuhi kepala saya, tapi sebelum saya semakin panik, menjelang Maghrib seorang suster meneriakkan nama adik saya. Kami diberitahu bahwa operasi adik saya berjalan lancar (alhamdulillah), dan saat ini dokter masih menunggu dia siuman. Saya juga diberi sebuah botol bening berisi tumor yang berhasil diangkat. Bapak nggak mau lihat. Katanya sih jijik.

Tapi saya iseng mengeluarkan gumpalan berbalut perban itu lantaran penasaran. Teksturnya lebih padat daripada bayangan saya, dan rasanya aneh di genggaman (sekarang masih saya simpan, tapi sudah kempes dan berbau nggak sedap).

Kami pun disuruh pindah ke ruang sadar.

Dan akhirnya adik saya keluar dari ruangan itu dengan kondisi lemas bersama suster yang sebelumnya mengantar ke ruang operasi. Adik saya diantar sampai kembali ke kamar, dan setelah berbaring, adik saya tertidur lagi gara-gara efek bius yang tersisa. Saya harus bersabar untuk mendengar ceritanya selama di ruang operasi, deh.

Tidak lama berselang waktu makan malam tiba. Nggak seperti orang sakit, adik saya begitu lahap menyantap makan malamnya: ikan dory tepung krispi, ayam saus lada hitam, dan sayur sawi kuah bening dengan beberapa potongan tahu di dalamnya. Meski begitu, adik saya masih belum cukup kuat untuk makan sendiri. Sayalah yang harus menyuapinya (Bapak langsung pulang begitu adik siuman).

Di waktu yang bersamaan teman kuliah saya datang menjenguk. Kami kelewat asyik mengobrol sampai-sampai sempat ditegur, haha. Lucunya, teman saya datang membawa satu kotak ayam goreng McDonald's sebagai hadiah perayaan atas suksesnya operasi adik saya, yang mana disambut dengan sepenuh hati oleh adik saya si maniak ayam.

Kami mengobrol sampai pukul 8 karena besok teman saya masih harus berangkat kerja. Setelah dia pulang, barulah adik saya mengeluh kesakitan. Saya yakin efek biusnya sudah hilang. Saya menenangkan adik saya semampunya lantaran suster belum datang.

Suster yang berjaga malam hari itu sendiri baru menengok adik saya sekitar pukul 11 untuk mengecek tekanan darah dan mengganti infus adik saya yang cepat sekali habis. Adik saya juga diberi obat pereda nyeri dan antibiotik. Sepanjang malam dia bolak-balik merintih kesakitan, dan tiap kali saya mendengarnya, saya langsung terduduk untuk memastikan kalau-kalau ada yang kudu saya lakukan.

Tapi, barangkali karena kecapekan, entah sejak kapan saya tertidur pulas di lantai.

Pagi tiba, dan saya dikejutkan oleh laporan adik saya bahwa suster lain mampir lagi antara pukul 5. Saya sepertinya benar-benar kecapekan karena nggak mendengar apa pun. Ada rasa malu juga karena saya dilihat dalam keadaan kurang pantas, haha.

Pukul 7 sarapan dibagikan, dan saya kurang ingat apa menunya waktu itu. Tetapi menurut penilaian adik saya, semua makanan yang sudah dia coba rasanya oke, berbanding terbalik dari gambaran "makanan rumah sakit" yang selama ini ada di kepala saya. Dia hanya mengeluhkan porsinya yang mungil untuk perut besarnya.

Setelah minum obat, suster memanggil saya dan berkata, "Adiknya hari ini sudah bisa pulang, ya."

Loh?

Sepulangnya dari RS Delta Surya

Ya, saya nggak salah dengar atau apa. Ternyata pagi-pagi sekali katanya dokter memeriksa hasil operasi kemarin dan, menurut beliau, kondisi adik saya sudah stabil dan bisa dilanjutkan rawat jalan.

Jujur, saya kaget dengan durasi perawatan yang terlewat singkat ini. Walau adik saya masih harus check up pasca operasi beberapa hari lagi, mengapa nggak sekalian dibiarkan saja stay sampai hari itu? Tapi, berkaca bahwa saya cuma mengandalkan BPJS kelas 3, saya teringat pada salah satu peribahasa bahasa Inggris yang berbunyi seperti ini:

Beggars can't be choosers.

Arti kasarnya kira-kira begini:

Pengemis tidak boleh pilih-pilih.

Dengan kata lain, saya seharusnya bersyukur rumah sakit mau secara cuma-cuma mengangkat tumor dari tubuh adik saya, bahkan memberikan obat. Saya manut-manut saja.

Masalahnya, luka operasi adik saya sepertinya belum kering betul. Jadilah di sepanjang perjalanan pulang ke rumah dia menggenggam tangan saya untuk menahan sakit. Sewaktu check up beberapa hari setelahnya pun dia pulang sambil menangis sesenggukan lantaran dokter mengeluarkan nanah dari lukanya.

Tapi setelah hari itu kami nggak perlu bepergian jauh-jauh ke rumah sakit lagi. Check up lanjutan, meminta tambahan obat, dan melepas jahitan semuanya dilakukan di faskes 1.

Karena luka adik saya terus bernanah, saya jadi belajar cara membersihkan luka operasi dari dokter, mulai dari menggunakan infus untuk membuka perban sampai mengeluarkan nanah hingga memasang perban baru. Ada hikmahnya juga sih walau di awal-awal agak ngeri soalnya saya nggak pernah nyoba P3K semacam ini.

Berapa lama luka operasi payudara sembuh? Untuk kasus adik saya, butuh nyaris satu bulan untuk sembuh lantaran pernah ada miskomunikasi dengan dokter dan kurangnya pengetahuan soal merawat luka pasca operasi. Kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya perhatikan juga makanan yang dikonsumsi dan jaga supaya luka selalu kering agar cepat pulih.

Penutup

Sebenarnya masih ada banyak hal lagi yang ingin saya ceritakan, tapi ingatan saya nggak terlalu jelas lagi dan saya khawatir tulisan ini bakal ngebosenin buat sobat. Intinya, yang mau saya sampaikan lewat tulisan ini adalah supaya sobat selalu peduli pada kesehatan diri sendiri, karena tumor payudara bisa menyerang siapa saja.

Itulah pentingnya menerapkan lifestyle dan pola makan yang sehat, karena sebelum ini adik saya sangat suka makan makanan instan, terutama mie instan dan olahan daging seperti sosis, nugget, dan semacamnya.

Juga, penting untuk mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan. Ketika sakit melanda, BPJS dapat membantu meringankan beban sobat secara finansial. Sungguh, saya menyesal mengapa nggak mengurus keanggotaan saya sedari awal. Kalau bukan karena bantuan pemerintah, saya nggak bisa membayangkan dari mana harus mencari belasan juta dalam waktu singkat untuk mengoperasi adik saya.

Sekarang, saya cuma perlu membayar sedikit cicilan tiap bulannya. Jika dibandingkan dengan nominal yang mesti saya keluarkan tanpa bantuan BPJS, jelas-jelas ini jauh lebih ringan. Dan kalaupun nanti kami nggak perlu menggunakannya lagi, hitung-hitung kami membantu pengguna BPJS Kesehatan lainnya.

Itulah pengalaman operasi tumor payudara dengan BPJS yang adik saya jalani awal tahun 2023 ini. Semoga bisa memberi informasi yang sobat butuhkan. Silakan tinggalkan jejak berupa komentar, boleh berupa pertanyaan atau sharing pengalaman sobat sendiri. Salam sehat!

NB: Terima kasih atas kebaikan hati dari semua petugas dan dokter RS Delta Surya yang sudah turut membantu dalam proses penyembuhan adik saya.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pengalaman Operasi Tumor Payudara dengan BPJS, Benarkah Gratis?"

Post a Comment