Menjadi Penerjemah yang Baik Itu Tidak Sulit, Kok

Selamat pagi, teman-teman!

Sewaktu SMP, guru-guru di sekolah kami acapkali meminta para muridnya untuk membuat makalah dalam dua versi.

Yang satu berbahasa Indonesia, sementara yang satunya lagi berbahasa Inggris.

Maklum, keberadaan sekolah-sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) lumayan menjamur kala itu.

Dan, SMP kami pun termasuk yang berstatus RSBI.

Mungkin teman-teman bisa menebak, bahwasanya kebanyakan mata pelajaran di sekolah-sekolah semacam ini dibawakan dalam dua bahasa.

Maksudnya agar murid-muridnya menjadi individu yang multilingual (mengerti lebih dari dua bahasa).

Sebetulnya, itu niat yang sungguh mulia. Tapi, saya yakin, bagi mereka-mereka yang nggak doyan belajar bahasa, ini ibarat momok yang mengerikan.

Alhasil, ketika kemahiran berbahasa Inggris masihlah sangat pas-pasan, kami pun terpaksa mengandalkan mesin penerjemah gratis seperti Google Translate, meski para guru sudah berulang kali mewanti-wanti supaya kami nggak sepenuhnya bergantung pada alat tersebut.

Kenapa?

Alasannya sederhana saja.

Sepertinya teman-teman akan lekas paham jika saya beri contoh.

Misalnya, saya harus menerjemahkan kalimat berikut ke dalam bahasa Inggris.

“Namanya juga usaha pasti ada naik turunnya.”

Dan, menurut Google Translate, kalimat tersebut seharusnya berbunyi seperti ini dalam bahasa Inggris…

… yang mana hasilnya, asli, ngaco banget. 😅

Kalau begini, jelas sudah mengapa guru-guru sangat nggak menganjurkan para muridnya untuk menggunakan Google Translate.

Kilah mereka, dikhawatirkan nanti justru memberikan jawaban yang menyesatkan!

Sebenarnya, ada betulnya juga kami dilarang menerima hasil terjemahan Goole Translate mentah-mentah.

Dengan begitu, motivasi kami untuk mempelajari bahasa Inggris bakal semakin terlecut.

Lantas, haruskah kita serta-merta menghindari Google Translate dan sejumlah alat penerjemah lainnya?

Jawabannya: no, we shouldn’t.

Ini, sih, senada dengan ketakutan berlebih sederet orang terhadap media sosial dengan dalih khawatir akan efeknya yang membikin mereka keranjingan.

Lagi-lagi, apapun dampak yang ditimbulkan atau hasil yang diberikan, itu semua tergantung pada bagaimana cara kita memanfaatkan alat-alat tersebut.

Ya, baik media sosial ataupun machine translation, keduanya cuma alat.

Asalkan kita tahu cara kerjanya, bukan mustahil kita bisa menjadi penerjemah yang baik, lo (bahkan dengan bermodalkan mesin penerjemah thok).

Jadi, apa saja poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam menerjemahkan sebuah teks?

Sebelumnya, perlu teman-teman ketahui terlebih dahulu, apa, sih, tujuan dari kegiatan bernama ‘menerjemahkan’ itu sendiri?

Mengapa kita menerjemahkan suatu teks, baik yang tertulis ataupun terucap?

Rupa-rupanya, the art of translation bertujuan untuk mempermudah manusia dalam menyelami kebudayaan lain melalui teks yang disusun dalam bahasa asing.

Tanpanya, mungkin kita nggak akan pernah tahu secuilpun tentang orang-orang Eskimo dan teknik unik mereka dalam merekonstruksi Igloo. Juga, barangkali kita bakal dibuat pusing sejadi-jadinya dalam menikmati buku-buku karya penulis luar negeri.

Translation makes our lives easier.

Nah, di sinilah pentingnya hasil penerjemahan yang seakurat dan sedekat mungkin dengan sumber bahasa teks asli (selanjutnya saya sebut source language atau SL).

Bayangkan jika sang penerjemah keliru menafsirkan sepotong informasi yang ada di dalam berita tertentu. Wah, akibatnya tentu fatal.

Pun, dalam melakukan proses transfer informasi antar dua bahasa ini, dibutuhkan keluwesan sang penerjemah untuk ‘mengecoh’ pembaca.

Usahakan agar pembaca tidak menyadari bahwa sesungguhnya teks yang mereka jumpai itu bukanlah frasa atau kalimat yang awalnya dibuat dalam bahasanya.

Mengapa?

Yah, monggo dicek lagi, deh, contoh yang sudah saya cantumkan di atas. Bagi teman-teman yang bukan pembicara asli (native speaker) bahasa Inggris, mungkin nggak akan menemukan kejanggalan apapun dalam "the name is also a business", tetapi itu pastinya akan mengundang banyak tanda tanya dari para bule.

Lain halnya jika si translator punya kemampuan penerjemahan yang top markotop. 😜

Seperti yang baru-baru ini saya temui berkat menonton iklan Coca-Cola di TV. Di awal mula penayangannya, saya ingat betul iklan minuman berkarbonasi itu mengutup tagline orisinil perusahaan, “together tastes better”.

Namun, entah sejak kapan, tiba-tiba saja tagline itu berganti menjadi “bersama berasa lebih”.

Untuk para audiens yang baru menonton iklan tersebut for the first time, agaknya mereka nggak akan menjumpai keganjilan apapun ketika mendengar sebaris frasa tersebut.

Kok?

Because it sounds natural.

Karena tagline tersebut nggak diterjemahkan secara literal (“bersama terasa lebih baik”), dan akhirnya terciptalah hasil terjemahan yang dapat dimaknai dengan mudah dalam bahasa target (selanjutnya saya sebut target language atau TL).

Memangnya, apa saja toh ciri-ciri hasil terjemahan yang unnatural?

Namun, dengan menjadi penerjemah yang baik, saya percaya teman-teman akan mulai mengurangi membuat kesalahan-kesalahan di atas.

Alhasil, ketika mengobrol dengan bule, teman-teman usah ragu memanfaatkan machine translation.

Mungkin sebagian di antara kalian ada yang bertanya-tanya sedari tadi, “Apakah jadi penerjemah harus kuliah?” 😩

Untuk hasil yang maksimal, akan lebih baik jika teman-teman mempelajari seluk beluk bidang studi ini dengan lebih mendalam di perguruan tinggi. Sebab, ada bermacam-macam teori yang akan membuka cakrawala ilmu kalian lebih dari sekadar belajar otodidak.

Namun, untuk sekadar ngobrol cas-cis-cus dengan teman asing kalian via Twitter atau Instagram, saya rasa sudah cukup kalau teman-teman sementara memaknai poin penting berikut.

Jadi, untuk menjadi penerjemah yang baik, alangkah baiknya jika teman-teman mampu memahami perbedaan antara SL dan TL.

Misalnya, terdapat diskrepansi penggunaan kata ganti yang sangat kentara antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Ya, seperti yang teman-teman tahu, nggak ada perbedaan antara kata ganti subyek dan obyek di dalam bahasa Indonesia. Tetapi, dalam bahasa Inggris, kita mesti mengingat variasi pronouns.

Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku.

I love her with all my heart.

Dari contoh di atas, teman-teman juga bisa mendeteksi perbedaannya, bukan?

Selain kata ganti, masih ada segudang perbedaan lainnya yang perlu teman-teman kuasai, seperti bentuk jamak dan variasi kata kerja menurut tense.

Namun, jangan risau. Tersedia banyak sumber belajar di jagad internet yang bisa kalian manfaatkan untuk belajar gratis, lo. 😉

Nah, setelah mengetahui triknya, bisakah teman-teman memperbaiki hasil terjemahan “namanya juga usaha pasti ada naik turunnya”?

Kalau versi saya, sih, begini:

“Itulah yang dinamakan berusaha; itu tentu memiliki naik dan turunnya.”

Hasilnya?

“This is what is called trying; it has its ups and downs.”

Agar lebih natural lagi, saya perhalus menjadi:

“That is what we call going ham; it certainly has its ups-and-downs.”

Oh, dan satu lagi, selalu gunakan bentuk baku dari SL, ya? Menurut hasil pengamatan saya, sebagian besar machine translations yang ada saat ini masih belum mengakomodasi penerjemahan slang dengan baik.

In other words, alat-alat semacam ini cenderung nggak mengenal istilah “bocil” dan “cabe-cabean”.

Nggak percaya? Cobain sendiri, deh! 😆

 

“Menjadi Penerjemah yang Baik Itu Tidak Sulit, Kok” – Sidoarjo, 10 Mei 2021

Ristra Russilahiba

Postingan terkait:

8 Tanggapan untuk "Menjadi Penerjemah yang Baik Itu Tidak Sulit, Kok"

  1. Iya bener juga sih mbak, kadang mengartikan kosa kata bahasa Inggris pakai penerjemah google translate artinya malah kebanyakan tak sesuai .saya pun, jadi ingat dulu waktu SMp saya cuma mengandalkan kamus serta bantuan kakak tercinta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi, jadi gemes sendiri, ini ngomong apa sih? 😅 Wah, saya juga gitu, Mbak! Jadi inget dulu pernah punya kamus bahasa Inggris 20 milyar! 😆

      Delete
  2. Hahahaha.. tidak sulit karena Ristra sudah terbiasa, sulit bagi yang belum terbiasa...

    Masalah dengan Google Translate adalah mereka mesin dan tidak manusiawi. Bahasa pemrograman masih jauh dari menghadirkan sesuatu yang "manusiawi". Masih butuh waktu lumayan lama sebelum hal itu tercapai.

    Mengapa perlu "manusiawi"? Ya karena bahasa adalah cara "manusia" untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi. Di dalamnya bukan hanya ada sekedar tata bahasa, semantik, sintaksis, tetapi di sana ada budaya, tradisi, dialek.

    Dalam bahasa ada "nuansa" yang mencerminkan kehidupam sebuah kelompok masyarakat.

    Penerjemah yang baik adalah bukan mereka yang sekedar bisa menerjemahkan kata perkata karena kalau begitu maka ada "bagian" nuansa yang hilang dalam terjemahannya. Penerjemah yang baik harus bisa memahami karakter dan budaya pengguna bahasa, baik dari bahasa asal atau bahasa tujuan.

    Dengan begitu ia bisa tetap mempertahankan "makna tak tersirat" atau saya sebut nuansa dalam terjemahannya. Si pembaca jadi bisa ikut merasakan "makna" nya secara utuh dan bukan sekedar perubahan kata-kata saja.

    Ristra sudah memiliki dasar itu dalam bahasa Inggris dan Indonesia, makanya semua jadi terasa mudah. Sayangnya, bagi yang tidak memiliki dasar, hal itu akan sulit sekali dan dalam terjemahannya akan banyak bagian yang hilang dan tidak tersampaikan dengan baik.

    Begitulah pendapat saya dalam urusan terjemahan, karena kebetulan, saya pernah menjadi penerjemah (tertulis) dulu dan selama bekerja dengan orang asing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya khawatir kalau bilang mudah kesannya jadi ngegampangin. Nah, saya pilih deh "tidak sulit" dengan harapan supaya yang baca mau tergerak untuk belajar sedikit demi sedikit tentang seni menerjemahkan ini, Pak Anton. 😸

      Betul, Pak, makanya di atas saya juga nggak menyarankan untuk menerjemahkan secara literal, karena antara dua bahasa nggak selalu ditemukan 100% padanan kata yang sesuai. Tetapi penjelasan tambahan dari Pak Anton komplet banget, deh, bisa dijadikan wejangan juga bagi mereka-mereka yang mampir ke tulisan ini. 👍

      Delete
  3. aku sendiri pun nggak begitu jago bahasa inggris. apalagi perihal grammar selalu deh bikin deg-degan hihi
    makanya kadang ngandelin google translate, tapi bener juga kata mbak kalo nggak bisa terllau bergantung sama google translate karena kadang nagco parah 😆😆
    akhirnya pun saya membiasakan diri dengan membaca artikel bahasa inggris dan buku-buku bahasa inggris hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Percayalah, Mbak, bahkan anak jurusan bahasa Inggris pun masih suka dag-dig-dug serrr kalau berhubungan dengan grammar. Terkadang saya juga masih ada salah-salahnya, makanya agak nggak percaya diri kalau belum ngecek di grammar tools seperti Grammarly atau Ginger. Saya bisa maklum, sih, 'kan ini bukan bahasa ibu kita, hahahaha.

      Wah, saya salut banget Mbak dengan usahanya! 👍 Walaupun saya yakin baca-baca buku asing kadang-kadang bisa bikin kepala pening, mudah-mudahan semakin menambah wawasan & memperlancar kemahiran berbahasanya. 😄

      Delete
  4. Aku bingung kalo baca bahasa Inggris karena pakai google translate juga kadang masih kacau, apalagi tidak punya dasar bahasa Inggris.

    Tapi menurutku google translate sekarang lebih baik, dulu hasil terjemahannya lebih kacau lagi. Tapi sebagus apapun hasil google translate, masih lebih bagus orang yang mengerti bahasa Inggris. Soalnya kadang kan ada kata atau kalimat yang tidak tepat diterjemahkan.

    Contohnya kota Malang, kalo diterjemahkan jadi unlucky city.😂

    ReplyDelete
  5. Ini nih, dosen matkul translationku dulu killer sekali. Beliau tau banget mana yang pake gugel dan yang tidak. Walaupun cuman 1 frasa doang yang ga sampek 1 kalimat itu sudah tau. Padahal menurutku pada saat itu hasilnya fine fine aja.

    Ribetlah pokoknya, harus banyak latihan memang.

    ReplyDelete