Selamat siang, teman-teman!
Wah, nggak nyangka, rupanya sudah hampir dua bulan saya MIA
dari blog ini.
Apa mau dikata, belakangan saya sibuk bingits.
Meski saya bersyukur akan banyaknya order menulis yang masuk, terkadang saya rindu masa-masa di mana
saya bisa bersantai di pagi hari tanpa perlu memikirkan tentang pekerjaan lebih
dahulu.
Semoga alasan ini bisa diterima oleh teman-teman sekalian
yang, yaaah, barangkali sudah setia
menunggu postingan terbaru saya. 😆
Alright, kembali
ke inti pembahasan hari ini yang mengulik tentang miskonsepsi atau
kesalahpahaman yang kebanyakan orang punya tentang mahasiswa-mahasiswa jurusan
Sastra, entah itu Sastra Indonesia, Jepang, Rusia, Inggris, Korea, dsb.
Ide untuk membahas topik ini sebetulnya muncul begitu saja, a.k.a tidak direncanakan sama sekali.
Kalau boleh jujur, terkadang saya tidak tahu harus menulis
apa, kendati banyak suara di benak saya yang menyarankan untuk menulis A, B,
ataupun C.
Kalau teman-teman sendiri, darimana biasanya kalian
mendapatkan inspirasi untuk ngeblog? Please
help me! 😢
Oke, tentang miskonsepsi, agaknya hampir semua bidang
keilmuan yang ada membentuk citra tertentu di mata orang-orang awam.
Sama seperti saya yang dari dulu hingga sekarang masih
beranggapan jika lulusan Matematika 99% berkecimpung di ranah pendidikan (alias
menjadi guru), orang-orang mestilah punya anggapannya sendiri tentang anak-anak
Sastra.
Dan, dari sekian banyak yang acapkali saya dengar dari
celoteh orang lain, inilah dua di antaranya yang, menurut saya, pertama kali
muncul ketika orang-orang diminta untuk mendeskripsikan seperti apa, sih,
lulusan Sastra itu.
Miskonsepsi tentang Lulusan Sastra yang Bercokol di Benak Mayoritas Orang
1. “Lulusan Sastra? Wah, pasti pinter nulis/ngarang, yah?”
Kebanyakan orang menganggap mahasiswa jurusan Sastra itu bibit-bibit
penulis atau pengarang populer di masa depan.
Eh, nyatanya, ini nggak 100% benar.
Memang, ada beberapa mahasiswa yang punya minat dan bakat di
bidang kepenulisan, baik itu menulis ilmiah atau mengarang cerita-cerita fiksi.
Tapi, kondisi tersebut nggak bisa digeneralisasikan untuk
seluruh mahasiswa di jurusan yang sama.
Bahkan, hemat saya, siapa saja berkesempatan untuk menjadi
seorang penulis atau pengarang handal terlepas dari apapun latar belakang
pendidikannya, kok.
Artinya, si Fulan nggak harus serta-merta memperoleh gelar
dari jurusan Sastra demi menerbitkan buku best-seller
atau jadi kolumnis tersohor.
Malahan, berdasarkan pengalaman saya selama berkecimpung di
industri freelancing kurang lebih
empat tahun lamanya, freelance writer kawakan
yang saya kenal rata-rata merupakan lulusan dari jurusan-jurusan non-Sastra.
Ada yang lulusan Kedokteran, Teknik Sipil, juga Sistem
Informatika.
Berkat ilmu-ilmu spesifik tersebut, mereka pun menjelma
menjadi freelance writer dengan
bayaran mahal.
Kok?
Ini karena mereka lain daripada yang lain, ada niche-nya tersendiri yang menyorot
kemampuan mereka dan menjadikan mereka menonjol dari kebanyakan penulis lepas.
Pada suatu hari, saya sengaja membandingkan tulisan saya
dengan freelance writer yang
mengkhususkan dirinya untuk menulis satu atau dua niche saja pada topik yang sama.
Saya menyadari bahwa pembahasan dari sang mastah lebih mendalam, alih-alih sekadar
mengemukakan fakta-fakta umum yang mengambang di permukaan.
Soal gaya bahasa, punctuation,
tata bahasa, dan aspek-aspek kepenulisan lainnya, itu bisa dipelajari sambil
terus menambah pengalaman menulis.
Toh, lama-kelamaan dengan sendirinya writing skills itu akan berhasil dikuasai. 😄
Dulu, selama empat semester, kami diberi mata kuliah khusus yang
isi perkuliahannya menyangkut tentang “cara-cara menulis yang baik”.
Mulai dari menulis untuk konteks sehari-hari sampai akademik
dan bisnis, semuanya diajarkan.
Tapi, selengkap apapun materi yang diberikan, dan sepiawai
apapun dosen-dosen kami dalam membawakan materi tersebut, entah mengapa
nilai-nilai saya di kelas Writing rata-rata
bertengger di angka 7.
Jarang banget saya bisa dapet A.
Melihat huruf “B” di transkrip saja sudah amat bersyukur
dengan kemurahan hati dosen. 😅
Singkat kata, menulis itu sulit.
Kalau sekadar menyusun kata-kata menjadi kalimat yang betul
secara tata bahasa dan bisa dipahami, sih, semua orang bisa (dengan
pengecualian tertentu).
Tapi, kalau mau membuat tulisan yang mampu menggerakkan hati
orang, bermanfaat, menginspirasi, atau dengan tujuan-tujuan lainnya, sekadar
mengantongi ijazah S1 dari jurusan Sastra saja mungkin belum cukup.
2. “Lulusan Sastra? Wah, pasti kutu buku, ya?”
Lagi-lagi, menurut saya, ini adalah bentuk generalisasi
lainnya bagi para mahasiswa Sastra.
Nyatanya, di perguruan tinggi, terlepas dari apapun
jurusannya, semua mahasiswa mau nggak mau harus doyan membaca!
Jadi, entah itu jurusan Manajemen, Akuntansi, atau Ilmu
Politik, anak kuliahan diharapkan mampu menjadikan kegiatan yang satu ini
sebagai kebiasaan.
Pasalnya, nyaris seluruh tugas yang dibebankan kepada
mahasiswa umumnya melibatkan analytical
thinking.
Dan, levelnya berkali-kali lipat lebih advanced daripada skill serupa
yang dibutuhkan di tingkat-tingkat pendidikan sebelumnya.
Terutama ketika diberi tugas menulis (menyusun artikel
jurnal, lebih tepatnya), mahasiswa bakal kepayahan kalau pengetahuannya tentang
topik-topik tertentu “cuma segitu aja”.
Nah, salah satu cara untuk menambah pengetahuan sekaligus memperluas
pandangan ya dengan membaca! 📖
Sayangnya, barangkali karena beberapa mahasiswa nggak ngeh bagaimana trik membaca yang efektif
tanpa memakan banyak waktu, pada akhirnya ada yang sampai memusuhi membaca.
Jangan salah, meski seringkali disebut-sebut sebagai
“generasi terpelajar”, sebetulnya fenomena “kurang membaca” juga mewabah di
kalangan anak kuliahan.
Bicara soal kurang membaca, sebetulnya ada banyak jenis dari
fenomena tersebut.
Ada yang pada dasarnya memang kurang gemar membaca.
Ada yang kurang sering membaca, entah karena keterbatasan
waktu atau prasarana.
Ada pula yang kurang memperluas jenis bacaannya.
Saya menilai diri saya sendiri termasuk seseorang yang doyan
membaca, pada mulanya.
Sayangnya, frekuensi membaca saya menurun begitu saya lulus
dari bangku perkuliahan, meski terkadang di awal saya mencoba menyempatkan diri
untuk melahap satu-dua buku per tiga bulan sekali.
Pun, meski tahun berganti, ragam bacaan saya masih seputar topik
itu-itu saja (self-improvement dan minimalism).
Malahan, kalau boleh jujur, akhir-akhir ini saya justru menjauhi
buku yang bersih dari ilustrasi, dan lebih banyak menghabiskan waktu membaca manga serta Webtoon.
Saya juga heran, dan masih belum mengetahui apa penyebabnya.
💨
Boleh jadi ini karena saya sudah penat membaca buku fisik, yang
oleh otak saya telah diasosiasikan dengan kegiatan yang menjemukan.
Segudang tugas semasa kuliah tidak pernah lepas dari
membaca, membaca, dan membaca.
Alhasil, inilah mengapa saya makin enggan menyentuh printed books, bahkan jika isinya seputar
topik-topik yang saya sukai.
Dan, kalau menilik gelagat teman-teman karib saya di zaman
kuliah dulu, kami selalu ngedumel tiap
kali disuruh merampungkan satu bab sebagai pe-er.
😝
Barangkali, para dosen pun tahu kebanyakan mahasiswanya
kurang suka membaca.
Dan, beliau mungkin geram menyaksikan wajah-wajah melongo
tiap kali dimintai pendapat tentang bab yang sedang dijabarkan. 😌
Yaaah, jadilah ide
untuk menyuruh mahasiswa membaca sebagai pekerjaan rumah, yang semestinya dilaksanakan
secara sukarela tanpa perlu diperintah.
Kesimpulannya, sama seperti menulis, reading isn’t everyone’s thing.
Tapi, itu adalah sebuah fakta, bahwa membaca itu penting.
Jadi, jangan bosan-bosan membaca, ya!
Jujur, ada sederet miskonsepsi lainnya yang sempat melintas
di benak saya ketika tulisan ini masih berupa ide abstrak.
Anehnya, poin-poin itu serta-merta menguap begitu saya
hendak menulisnya.
Duh, kalau tahu begini, sebaiknya saya nggak menyepelekan
pentingnya membuat outline. 😓
Saya akan tambahkan jika poin-poin yang terlupakan itu
berhasil diingat!
Anyway, coba
ceritakan kesalahpahaman apa yang orang-orang punya tentang jurusan teman-teman!
Nggak melulu tentang jurusan yang diambil di perguruan
tinggi, kok. Jurusan semasa SMA pun oke, semisal apa pendapat anak IPA tentang
anak IPS, dan sebaliknya.
I’ll be waiting for
your story. 👋
“Miskonsepsi tentang
Lulusan Sastra” – Sidoarjo, 7 Juli 2021
Ristra Russilahiba
Aku juga kuliah sastra dan bisa relate banget sama tulisan ini. Dikiranya aku bisa ngarang dengan lancar bagai air mengalir, nyatanya ga samsek. Aku lebih tertarik ke linguistik :)
ReplyDeleteHalo, Mba Elza, salam kenal (eh, nama panggilannya apa, ya? Hehehehe, semoga dimaafkan kalo keliru!).
Delete'Tul banget. Mengarang itu susah, apalagi cerita fiksi. Udah berkali-kali nyoba, dan berkali-kali juga gagal. Entah karena alur ceritanya yang rada' maksa, atau karakteristik tokohnya yang melempem. Sepertinya aku memang nggak ada talenta di situ ;(
Dan, atas pertimbangan itulah, akhirnya aku memutuskan untuk ambil konsentrasi linguistik! Menurut pendapatku pribadi, sih, major ini lebih seru dan lebih gampang dinalar oleh otakku ketimbang karya-karya sastra yang, hhhhh, tahu sendirilah, ya, penuh dengan subyektivitas, hahahaha!
Sejujurnya dulu saat aku mau kuliah inginku nomor 1 malah sastra, pilihannya sastra inggris kalau ga sastra indonesia...sayang aja ga keterima. Kalau di perguruan tinggi yang jadi inceranku pas di semarang ini masuknya lewat ujian tes masuk makanya kayaknya aku kalah saing soalnya kan peminatnya ribuan, kuota bangkunya dikit...Jadinya akhirnya jodohnya ya aku ke ekonomi studi pembangunan di beda perguruan tinggi lagi. Beda provinsi pula dan kalau yang ini lewat jalur rapot..ntah kenapa aku kalau masuknya lewat jalur tes suka ga ada faktor luck hahaha
ReplyDeletekalau jurusan di SMA dulu sih pengenku sebenernya bahasa ya...cuma ya gitu deh mesti realistis juga...kalau nanti pas milih perguruan tinggi agak susah kalau dari jurusan bahasa...(pas masa ku ya, ga tau kalau anak milenial jaman sekarang). Jadinya pas SMA mau ga mau ipa, padahal sebagian besar pelajarannya aku ga suka soalnya hitungan :'(
tapi soal manga, aku juga hobi dengan manga, cuma bukan bagian bacanya...tapi gambarnya hahaha
Waaah, aku malah ngiranya kalo dari SMA jurusannya bahasa otomatis lebih "gampang" masuk ke jurusan yang sama di tingkat pendidikan selanjutnya. Kira-kira apa yang bikin sulit, ya:? Bikin penasaran...
DeleteDuh, sehati dong, aku juga nggak pinter-pinter amat kalo berurusan dengan angka. Ambil jurusan IPS pun nilai-nilaiku jeblok di mapel Akuntansi, hahahaha. Niatnya masuk jurusan Bahasa biar nggak ketemu sama rumus-rumus lagi, tapi ternyata sempat diajarkan Statistika, dong ;(
Hoho, justru karena ada gambarnya, makanya orang-orang tertarik baca manga!
Wah benar juga ya, hampir dua bulan vakum menulis di blog, tapi seharusnya bersyukur sih banyak job menulis, banyak penulis lain yang pengin job tapi masih jarang.
ReplyDeleteKalo aku biasanya dapat ide menulis dari membaca.
Ternyata lulusan sastra tidak semuanya bisa menulis atau mengarang ya mbak, tergantung orangnya.
Sama seperti jurusan sastra Jawa, dikiranya pasti bisa membaca tembang macapat atau bahkan disangka jadi dukun.🤣
Kalo jadi dukun kok kesannya ekstrem banget ya, Mas?! 😅
DeleteHehe, iya nih, walau badan dan pikiran capek-capek tapi tetap bersyukur, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang serba nggak menentu seperti sekarang 🙏
betul juga kalau lulusan sastra biasanya pinter nulis eh ternyata beda ya?
ReplyDeleteAda yang betul-betul bisa dan ada yang masih perlu diasah lagi kemampuannya :)
DeleteSaya punya rekan kerja lulusan Bahasa Inggris. Karena kami sama2 guru, dulu saya pikir pastinya dari fakultas pendidikan. Rupanya juga ada fakultas sastra. Tapi di dunia kerja, walau beda jurusan, kemampuan lebih utama.
ReplyDeleteBetul, Mba, sekarang jurusan Sastra juga diperbolehkan untuk melamar profesi guru. Tapi saya dengar-dengar makin bagus lagi kalau ikut program sertifikasi juga. Iya, kalau kata saya, sih, let the performance speak, hehehehe.
Delete